Plasma Noktah dan Ekosistem Kawasan Konservasi Harus Terjaga
Kawasan-kawasan konservasi harus dijaga tentang plasma noktah dan ekosistemnya. Founder-founder asing yang mengelola daerah-daerah konservasi itu seharusnya membagi pendapatan dari hasil turis atau nilai ekonomisnya kepada pemerintah daerah.
Demikian ditegaskan anggota Komisi IV DPR Hamdhani disela-sela RDPU dengan Ketum Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, Ketum Indonesia Center For Environmental Law, dan Ketum Wildlife Concervation Society dan Ketum PILI Green Network di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (01/09/2016).
Ia merasa belum jelas tentang bagaimana masalah pembagian atau share nya, karena ada pernyataan bahwa pemda tidak mendapatkan pembagian. Padahal seperti dalam kawasan konservasi orang hutan di Tanjung Puting Kalimantan Tengah yang memiliki lahan yang luas dan setiap hari turis berdatangan, tetapi pembagian untuk pemda nya sampai saat ini belum ada.
“Kita juga menginginkan agar perlu ada penetapan kawasan seperti hutan burung, yang didalamnya terdapat banyak sekali plasma noktah dan ekosistem, termasuk satwa langka agar tidak diganggu oleh tangan-tangan jahil. Kalau penetapan yang jelas, maka akan ada sanksi hukum yang bisa diterapkan kepada orang-orang yang tidak bertanggungjawab,” tegasnya.
Hamdhani juga meminta agar masyarakat sekitar kawasan konservasi diberikan kesempatan untuk dapat masuk ke dalam kawasan konservasi untuk mengambil hasil dan manfaat seperti getah kayu atau pemanfaatan-pemanfaatan limbah lainnya. Semata-mata agar mereka tetap mempunyai pekerjaan.
“Kalau mereka dilarang masuk kawasan bahkan dikenakan pungutan oleh pengelola konservasi, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Asalkan satwa langka atau hasil hutan lain seperti kayu dan lain sebagainya tidak diganggu. Tetapi hanya mengambil nilai ekonomis seperti dari getah kayu atau ikan,” tandas politisi F-Nasdem itu.
Menurutnya, hal ini juga perlu disempurnakan, jangan sampai masyarakat yang sudah lama berdomisili diwilayah itu tergerus oleh pengelolaan kawasan, karena tidak diberi peran dalam memanfaatkan hasil-hasil yang ada.
Pentingnya UU no. 5/1990 ini untuk direvisi, menurut Hamdani karena telah banyak kawasan konservasi yang berubah fungsi, dari hutan konservasi yang berstatus hutan lindung tetapi ada korporasi atau masyarakat yang merusak lahan tersebut untuk kepentingan sendiri.
“Selain masalah itu, harus ada pula pengakuan ratifikasi yang bersifat faktual dari negara-nagara lain yang berkaitan dengan pelarangan satwa langka. Indonesia harus ikut menjaga satwa langka agar tidak lolos keluar negeri,” ucapnya. (dep,mp) Foto : odjie/od